Salah satu daerah yang populer di Aceh yaitu Tanoh Gayo yang berada di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Tanoh Gayo merupakan penghasil kopi terbaik dan memiliki beberapa destinasi wisata alam yang indah dan menawan, salah satunya Danau Laut Tawar. Salah satu yang khas juga dari Tanoh Gayo adalah kain khas Gayo atau yang sering disebut Kerawang Gayo.
Kerawang Gayo merupakan sebutan untuk motif-motif ukiran kain Gayo yang berasal dari daerah Gayo Takengon, Aceh Tengah. Kain motif Gayo bisa dilihat pada pakaian adat Gayo, namun juga ada pada kayu-kayu yang ada di Rumah Adat Gayo. Simbol pada motif difungsikan sebagai simbol yang memiliki makna mengenai tuntunan dan tatanan aspek kehidupan masyarakat Gayo dan Aceh pada umumnya.
Motif yang ada di kain Kerawang diantaranya Mata Itik, Sesirung, Leladu, Panah Rebung, Tulen Iken, Gegaping dan lain sebagainya. Pemilihan warna pada kain Kerawang juga menjadi bagian penting, yaitu warna hitam sebagai warna dasar, kemudian dilengkapi dengan warna putih, hijau, dan kuning yang bisa menjadikan motif lebih indah dan menarik.
Pertumbuhan ekonomi didorong oleh berbagai faktor salah satunya potensi alam dan pariwisata yang tumbuh di daerah tersebut. Kota Banda Aceh memiliki potensi alam dan pariwisata yang memadai dan memiliki proyeksi kejayaan di masa yang akan datang. Aceh yang merupakan daerah pesisir, tentu memiliki keindahan pantai yang belum terjamah dan terpublikasikan.
Sektor pertanian dan perkebunan di Kota Aceh dalam perkembangannya selalu menunjukkan peningkatan. Sehingga ada banyak hasil produksi pertanian dan perkebunan yang melakukan ekspor dan impor ke sejumlah wilayah di pulau Sumatera hingga luar negeri. Namun, sayangnya potensi tersebut belum dimaksimalkan dengan baik. Salah satunya hasil produksi dari komoditi hortikultura cabe besar 49,3 ribu ton, cabe rawit 44,6 ribu ton, kentang 14,6 ribu ton dan bawang merah 8,7 ribu ton (Tabloid Sinatani.com, 2022).
Destinasi alam dan keindahan alam di Aceh merupakan daerah pariwisata yang sudah ada, tinggal dilakukan pembangunan dan pengembangannya saja. Perlu adanya kesadaran dari masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder yang memaksimalkan potensi wisata di Aceh. Melihat bahwa pariwisata akan berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi daerah Aceh.
Salah satu tujuan dari program Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 yaitu terwujudnya kota Inklusif. Kota inklusif merupakan prinsip dalam menciptakan ruang kota yang ramah bagi semua kalangan termasuk penyandang disabilitas. Setiap kota pada umumnya memiliki cita-cita demikian, salah satunya Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh pun melakukan berbagai upaya untuk mencapai kota inklusif salah satunya transportasi publik yang Ramah Penyandang Disabilitas.
Akses transportasi merupakan bagian dari hak penyandang disabilitas dalam pelayanan publik. Pelayanan publik yang mudah diakses juga wajib disebarluaskan dan disosialisasikan pada penyandang disabilitas dan masyarakat. Selain itu, penyelenggara pelayanan publik wajib menyediakan panduan pelayanan publik yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Bagaimana dengan akses transportasi publik untuk penyandang disabilitas di Kota Aceh? Dalam penelitian Rizkiya, et al (2021) menjelaskan bahwa secara umum, kelompok disabilitas menilai bahwa pelayanan transportasi bagi kelompok disabilitas di Kota Banda Aceh masih kurang baik karena sulit diakses. Sulitnya aksesibilitas ke sistem pelayanan Trans Kutaraja antara lain dapat dilihat dari rancangan halte yang belum ramah disabilitas.
Di banyak halte yang tersedia, ramp halte masih curam sehingga sulit digunakan penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Halte dengan ramp yang curam merupakan imbas dari penggunaan Bus Trans Kutaraja yang bertipe high-deck. Untuk menaiki ramp ini, sementara pada kenyataanya penyandang disabilitas masih membutuhkan bantuan dari pihak lain .
Bencana alam yang terjadi di Banda Aceh menjadi duka bersama, hingga hari ini masih menyisakan kenangan bagi masyarakat Aceh secara khusus, dan umumnya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tahun 2004 menjadi tahun kesedihan bersama, sekaligus awal kebangkitan kedua dari Kota Banda Aceh. Jika 18 tahun lalu semua penuh dengan kesedihan, maka hari ini Anda pasti yakin Aceh sudah pulih dan bangkit menjadi Kota yang memiliki banyak potensi.
Dalam rangka mengingat momen kebangkitan Aceh kedua, pemerintahan Aceh dan seluruh pihak yang membantu, akhirnya membuat Museum Tsunami Aceh. Museum Tsunami Aceh dirancang sebagai pengingat simbolis bencana gempa dan tsunami Samudra Hindia 2004, serta pusat pendidikan dan tempat penampungan bencana darurat jika daerah tersebut pernah terkena oleh tsunami lagi.
Dibuat oleh arsitektur penuh prestasi, Ridwan Kamil berhasil memenangkan sayembara tingkat internasional referensi bangunan museum. Konsep Museum Tsunami Aceh yang dibuat oleh Ridwan Kamil berkonsep rumoh Aceh dan on escape hill yang diambil dari nilai-nilai Islam, budaya lokal, dan abstraksi tsunami. Salah satu bangunan dibuat khusus untuk memperingati para korban, yang namanya dicantumkan di dinding salah satu ruang terdalam museum, dan warga masyarakat yang selamat dari bencana ini. Diharapkan dengan adanya museum ini menjadi pengingat dan dapat diambil hikmah serta berhusnudzon kepada Allah SWT.