Kepulauan Bangka Belitung memiliki oleh-oleh khas yang bisa Anda bawa pulang ke rumah. Jika Anda suka memasak, maka oleh-oleh sangat cocok menjadi rempahan yang berkualitas, yaitu Terasi Toboali. Di pasaran terasi ini memiliki kualitas super sehingga paling laris manis diburu oleh pembeli, khususnya ibu-ibu.
Ciri khas dari Terasi Toboali terletak pada aroma udang yang khas, sehingga menciptakan rasa yang lebih enak, tidak pahit dan warnanya menjadi kemerahan. Terasi Toboali tidak hanya diminati masyarakat lokal Bangka Belitung saja tetapi juga dari luar daerah. Penjualan Terasi Toboali tidak dijual kecil-kecil seperti di warung pada umumnya, di pasar biasanya dijual per kilogram.
Harga per kilogram Terasi Toboali berkisar pada Rp 50.000 sampai Rp 80.000. Para pengusaha terasi di pasaran Bangka Belitung biasanya bisa menjual hingga 100 kilogram per hari. Kampung Padang Toboali merupakan sentra pembuatan terasi khas Kabupaten Bangka Selatan, sekitar lima menit perjalanan dari kawasan Simpang Lima Toboali.
Pangkal Pinang juga disebut sebagai Kota Beribu Senyuman karena memberikan fasilitas terbaik untuk warganya, sehingga warga Pangkal Pinang sangat mendukung dan merasakan kebahagiaannya. Dinamakan sebagai “Kota Beribu Senyuman” karena sesuai dengan misi pemimpin daerah di tahun 2018 yang mencanangkan Pangkalpinang Kota Seribu Senyuman.
Kata Seribu Senyuman merujuk pada “Sejahtera, Nyaman, Unggul, dan Makmur”. Namun siapa sangka pembangunan sosialnya masih perlu terus lebih dilakukan kembali, agar tidak tumbuh ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat perkotaan Pangkalpinang.
Dalam sektor pengembangan daerah, Pangkalpinang telah melakukan banyak pembangunan dan perubahan yang progresif, mulai dari penanganan banjir, jalan akses antar kota, penerangan, arsitektur, tata kota, penanganan sampah, fasilitas umum dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Ibukota Bangka Belitung tersebut sedang lakukan perubahan besar.
Tanjung Pinang memiliki Botanical Garden yang berfungsi untuk menjaga dan melestarikan alam dengan baik dan terorganisir. Bagai ‘sambil menyelam minum air’ Botanical Garden juga bisa dijadikan sebagai destinasi wisata edukasi, guna memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Begitupun dengan Pangkal Pinang yang memiliki Botanical Garden.
Pasalnya di daerah Pangkal Pinang memang sudah tersebar informasi terkait pencemaran lingkungan akut di Pangkalpinang akibat penambangan timah yang tidak bertanggung jawab. Terutama pembuangan limbah beracun yang mengancam keberlangsungan hidup orang banyak. Tentu saya hal tersebut menjadi hal yang sangat merugikan masyarakat dan harus segera melakukan solusi dan pencegahan lebih parah.
Perusahaan tambang di Pangkal Pinang akhirnya membuat gerakan pemulihan lahan tambang. Saat itu pembangunan dipimpin oleh Johan Riduan yang bahkan mendapat penghargaan Kalpataru. Hingga saat ini pembangunan Botanical Garden terus ditingkatkan agar dapat memberikan kenyamanan untuk semua pihak.
Botanical Garden memiliki luas 200 ha yang dibagi menjadi tiga konsep yaitu peternakan, perkebunan, dan perikanan. Kolong atau bekas galian tambang timah yang merusak, kini berubah menjadi danau dan rawa indah. Jika Anda berkesempatan mengunjungi Botanical Garden di Pangkal Pinang ini, salah satu tempat berfoto indah adalah lorong pohon Cemara Laut atau Pohon Ru yang mirip dengan destinasi pulau terpopuler di Korea, yaitu , Nami Island.
Secara de facto Pangkal Pinang pernah menjadi Ibukota Indonesia. Pangkal Pinang memang tidak pernah secara resmi ditunjuk menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Namun ada sejarahnya yang pernah membahas hal tersebut. Diceritakan bahwa saat itu di tahun 1940-an terjadi perdebatan antara Indonesia dengan Belanda terkait pendirian perwakilan RI di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Singkat cerita, pada saat bersamaan, Presiden Soekarno dan Menteri Luar Negeri Agus Salim diasingkan di Wisma Ranggam yang terletak di Muntok, Bangka Barat. Karena peristiwa tersebutlah dapat dikatakan bahwa secara de facto, kala itu pemimpin utama Republik ada di Bangka.
Dalam bukunya, Setengah Abad Pangkalpinang sebagai Daerah Otonom (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pangkalpinang, 2006) dijelaskan, awalnya perundingan digelar di Wisma Menumbing. Selanjutnya, perundingan dipindahkan ke Pangkal Pinang. Perundingan-perundingan di tempat tersebut membahas kerangka perjanjian Roem-Royen.